Pages

Senin, 31 Desember 2012

Pengawasan Reklamasi dan Pasca Tambang Lemah



Aspek reklamasi dan pascatambang sangat penting dalam praktik pertambangan. Kegagalan menjalankan dua hal ini berakibat buruk bagi lingkungan yang ujungnya berdampak pada masyarakat dan penggunaan uang negara untuk mengatasinya. Sayangnya, koordinasi dan perhatian pemerintah masih minim dalam memastikan pelaku usaha memenuhi reklamasi dan pasca tambang ini.

Demikian disampaikan Dyah Paramita, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam konferensi pers Hasil Penelitian Potret Reklamasi dan Pasca Tambang Indonesia, di Jakarta, Selasa (31/5). Soal koordinasi pemerintah, Dyah mencontohkan tidak adanya koordinasi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Kehutanan.

Dyah mengatakan, hal ini berkaitan dengan penentuan keberhasilan proses reklamasi. Dalam PP No 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, pelaku usaha harus menyerahkan dana jaminan reklamasi tambang paling lambat 30 hari sejak rencana reklamasi disetujui Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Dana ini dikembalikan jika proses reklamasi dinilai selesai.

Namun, tidak ada ketentuan mengenai mekanisme audit keberhasilan proses reklamasi itu. Pemegang IUP Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat mengajukan pencairan dana jaminan itu ketika menganggap reklamasi sudah dilakukan. Untuk tingkat pusat, pencairan ini berdasarkan persetujuan Kementerian ESDM. Sayangnya, ulang Dyah, tidak ada koordinasi dengan Kementerian Kehutanan.

Hal ini dapat dipahami, kata Dyah, karena Peraturan Menteri Kehutanan No P.04/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi sendiri tidak mengatur jelas mekanisme pelepasan (pengembalian) dana jaminan reklamasi di kawasan hutan. “Karena itu, banyak reklamasi tambang di daerah hutan yang sebenarnya bermasalah,” katanya.

Dyah mencontohkan hasil penelitian ICEL di daerah pertambangan di Samarinda, kalimantan Timur. Dari sekitar 1,4 juta hektar lahan terbuka, sekitar 839 ribu hektar belum direklamasi. “Artinya proses reklamasi belum berhasil,” katanya.

Pernyataan ini didukung Carolus Tuah, peneliti lingkungan dari Pokja 30 Samarinda. Menurutnya, banyak lokasi tambang terbuka berupa lubang raksasa berdiameter ratusan meter dengan kedalaman lebih dari seratus meter.

“Saat hujan, lubang tersebut berisi air dan membentuk kolam raksasa. Hal ini menimbulkan penyakit, pencemaran, dan kerusakan lingkungan serta membahayakan masyarakat sekitar,” kata pria asli Samarinda ini.

Ditambahkan Dyah, persoalan koordinasi ini juga berkaitan dengan banyaknya izin tambang yang dikeluarkan pemerintah daerah dan pusat. Namun, hal itu tidak diimbangi dengan kemampuan pendataan yang baik sehingga pemda kesulitan mengawasi.

Dinas Pertambangan dan Energi kota Samarinda, kata Dyah, hanya memiliki data perizinan yang dikeluaran pemerintah kota. Padahal, kegiatan pertambangan di Samarinda juga dilakukan perusahaan yang izinnya diterbitkan pemerintah provinsi dan pusat.

Karena itu, Dyah meminta pemerintah segera memperbaiki persoalan ini. “Jika dibiarkan terus, lima hingga sepuluh tahun ke depan pemerintah justru akan direpotkan dengan persoalan reklamasi dan pasca tambang. Bahkan, dana reklamasi dan pasca tambang bisa dipakai dari APBN, padahal itu kewajiban pelaku usaha,” katanya.

Pemerintah sendiri memang menyadari tumpang tindih izin pengelolaan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia semakin merisaukan. Setidaknya 6000 izin saling tumpang tindih saat ini. Pemerintah daerah dianggap buruk dalam disiplin perizinan.

“Tadi dilaporkan ada sekitar 8000 izin pertambangan minerba di Indonesia. Dari jumlah itu, 6000 izin tumpang tindih (sekitar 75 persen),” terang Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Senin (23/5), usai rapat koordinasi di Jakarta.

Hatta mengatakan pemerintah menyadari kacaunya administrasi perizinan mineral dan batubara berdampak buruk terhadap lingkungan. Ia mencontohkan, ada kepala daerah yang telah memberikan izin kepada satu perusahaan, namun begitu ada pergantian kepala daerah, izin diberikan kepada perusahaan lain. “Padahal izin perusahaan sebelumnya belum habis,” katanya.

Lanjut Hatta, tumpang tindih izin pemanfaatan hutan maupun areal pertambangan biasanya memang berasal dari persoalan yang ada di daerah. Umumnya, permasalahan menyangkut pergantian kepala daerah maupun banyaknya izin pengelolaan untuk kegiatan pertambangan atau non tambang yang keluar pada satu lokasi konsesi tambang.

Karena itu, jelas Hatta, pemerintah sepakat membentuk tim koordinasi mengatasi hal ini. Tim ini berada di bawah pimpinan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. “Namun juga menyangkut bidang kerja Kementerian Dalam Negeri, makanya dibuat tim koordinasi,” katanya.

Tim ini, kata Hatta, akan mengaudit ribuan izin tambang tersebut. Hal ini penting untuk melihat apakah operasi perusahaan pemegang izin telah berjalan sesuai aturan, misalnya tidak merusak lingkungan dan tidak membuka lahan tambang di kawasan hutan lindung. “Targetnya dua minggu ke depan ada pemaparan hasilnya,” kata dia.

Memang, Hatta mengakui, pertambangan minerba merupakan bagian dari lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan negara. Namun, dampak terhadap lingkungan juga penting untuk diperhatikan.

“Tentu kita ingin lapangan kerja, menyejahterakan masyarakat, kita ingin pendapatan negara, tetapi kita juga tidak ingin lingkungan rusak,” pungkasnya.
 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4de4f3e7b3a06/pengawasan-reklamasi-dan-pascatambang-lemah

Pemerintah Diminta Tuntaskan Tumpang Tindih Lahan Tambang



Penentuan batas wilayah masih manual, sehingga kemungkinan besar terjadi kesalahan

Pemerintah diminta menuntas-kan proses penertiban izin tumpang tindih lahan per tambangan, karena belum menunjukkan hasil signifikan. 

Hingga kini, Kementerian ESDM mencatat masih ada 5.940 izin usaha pertambangan (IUP) yang belum dinyatakan clean and clear, sedangkan 4.626 izin sudah dinyatakan clean and clear atau tidak bermasalah.

Dari total 5.940 IUP yang belum clean and clear, sebanyak 3.988 IUP untuk komoditas mineral dan 1.952 IUP untuk komoditas batubara. 

Sedangkan dari total 4.626 IUP yang clean and clear, sebanyak 2.784 IUP tambang mineral dan 1.842 sisanya merupakan IUP batubara.

Kebanyakan IUP mengalami tumpang tindih lahan, meliputi lahan beda komoditas, tumpang tindih lahan sesama komoditas, hingga tumpang tindih karena kewenangan. 

Biasanya tumpang tindih lahan terjadi karena garis batas antar wilayah kabupaten yang tidak jelas. 

Perbedaan garis batas sering muncul setelah adanya otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Ada juga beberapa wilayah tambang yang berada di lokasi hutan konservasi.

Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, proses penertiban izin pertambangan yang bermasalah masih relatif stagnan. 

“Yang menjadi masalah dalam penertiban tersebut adalah mengenai puluhan ribu kuasa pertambangan yang berbentuk IUP, yang sering kali keluar beberapa izin pertambangan untuk komoditas yang beragam dalam waktu yang bersamaan di dalam satu lahan yang sama,” kata Komaidi kepada Investor Daily.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala mengakui, saat ini memang banyak izin tambang batubara yang masih tumpang tindih. 

Masalah tersebut terjadi karena penentuan batas wilayah yang masih manual, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan menjadi lebih besar. 

“Akibatnya, kegiatan produksi juga tidak bisa dilaksanakan. Ini merupakan kerugian buat negara,” kata dia.

Dia melihat, masalah tumpang tindih lahan tambang harus diselesaikan di pemerintah daerah.

Pasalnya, masalah tumpang tindih ini harus diurut hingga ke awal siapa yang sebenarnya paling berhak memiliki wilayah tambang yang dimaksud.

“Maka memang harus dikembalikan ke daerah untuk itu,” ujar Supriatna.

Dihubungi terpisah, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini mengatakan, permasalahan tumpang tindih lahan sebaiknya diselesaikan di tingkat pemerintah daerah. 

Pasalnya, pemerintah daerahlah yang paham betul terkait batas wilayah dan kewenangan. 

“Nanti gubernur akan diminta selesaikan masalah tumpang tindih ini dengan mengumpulkan para bupati di bawahnya,” kata dia ketika dihubungi Investor Daily.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meminta langsung kepada para gubernur, untuk menangani masalah tumpang tindih lahan tambang usai rapat kabinet di PT Pertamina (Per- sero) pekan lalu. 

Urusan lahan akan dikoordinasikan oleh gubernur, urusan lingkungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, dan pernyataan izin clean and clear oleh Kementerian ESDM.

Jika masalah lahan tidak selesai di Gubernur, Rudi melanjutkan, baru akan dirampungkan di tingkat pemerintah pusat. 

Dengan cara ini, masalah tumpang tindih lahan yang diselesaikan pemerintah pusat tidak terlalu banyak. Apalagi, kebanyakan izin belum mendapat status clean and clear karena memang masih tumpang tindih dengan per usahaan lain.

“Cara ini juga menghindari penyelesaian masalah melalui hukum. Gubernur dan bupati ini kan istilahnya masih satu keluarga, biarlah mereka selesaikan,” jelas Rudi.

Kewenangan Pusat

Menurut Komaidi, untuk izin tambang batubara yang berbentuk perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), relatif lebih terkoor dinasi dengan baik.

Karena proses negosiasi kontraknya langsung dengan pemerintah pusat. 

Tumpang tindih lahan tersebut juga dikarenakan lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah, yang memberi kewenangan penerbitan izin tambang tersebut oleh bupati atau walikota.

Mengenai rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan kewenangan penuh kepada gubernur, untuk menertibkan persoalan perizinan tambang, Komaidi menilai hal itu sebagai langkah yang baik. 

"Kalau usaha menarik wewenang tersebut ke atas itu sudah memperbaiki,” jelas Komaidi.
Penulis: ID/Retno Ayuningtyas/ Entin Supriati

MORATORIUM PERTAMBANGAN BATU BARA DAN PENOLAKAN KALTIM



Provinsi Kalimantan Timur menolak permintaan pemberlakuan moratorium izin pertambangan batu bara di seluruh wilayah kota/kabupatennya. Penghentian aktifitas pertambangan batu bara dikhawatirkan berdampak negatif terhadap perekonomian daerah dan nasional kedepannya.
            Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak menyatakan menolak moratorium pertambangan batu bara, hal itu dikarenakan pentingnya industri pertambangan batu bara bagi kepentingan Kalimantan Timur dan Indonesia pada umumnya. Sejumlah kota/kabupaten di Kalimantan Timur sangat tergantung pendapatan daerahnya dari perimbangan keuangan sektor bagi hasil pertambangan batu bara. Moratorium tidak dilakukan karena berbagai pertimbangan, di antaranya bergairahnya ekonomi warga sekitar dan perusahaan pertambangan menyerap banyak tenaga kerja. Selanjutnya setiap perusahaan memiliki kewajiban corporate social responsibility (CSR) untuk pemenuhan kebutuhan social masyarakat seperti perbaikan jalan, pengadaan air bersih, pembinaan organisasi kemasyarakatan dan lain-lain.
            Kedepannya, Awang mengaku akan memberikan penekanan terhadap pelaksanaan reklamasi lingkungan di kawasan bekas pertambangan batu bara. Perusahaan tambang batu bara, menurutnya harus memenuhi kewajibannya dalam merehabilitasi kembali lokasi pertambangan. Disamping itu pula, Awang mengaku pentingnya peningkatan pengawasan dari aparatur penegak hukum pada aktifitas pertambangan batu bara. Polisi diminta memberikan sanksi tegas bagi perusahaan tambang batu bara yang terbukti merusak lingkungan.  “Akan ada penataran bagi jaksa, polisi dan tentara dalam pengawasan tambang batu bara. Sanksinya juga harus tegas dengan hukuman penjara dan tidak dengan denda saja,” paparnya.  Sikap Kalimantan Timur ini merupakan jawaban tegas atas desakan dari sejumlah kalangan yang menginginkan moratorium pertambangan batu bara.
            Alasan Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) dan beberapa kalangan yang menginginkan moratorium tersebut yaitu agar Provinsi Kalimantan Timur diharapkan mampu mengendalikan kerusakan lingkungan yang terjadi pada 6 juta hektar lahan kritis dengan moratorium pertambangan batu bara.  Kemudian diperkuat dengan fakta bahwa produksi batu bara di Kalimantan Timur mencapai 215 juta metrik ton per tahun namun hanya 1,2 persen diantaranya untuk kebutuhan lokal.  Menurut beberapa pihak, hal ini berarti keberadaan pertambangan batu bara masih sangat kurang kotribusinya bagi pembangunan di Kalimantan Timur karena hanya 1,2 persen saja yang disisihkan untuk kepentingan dan kebutuhan lokal.  Setidaknya perusahaan pertambangan batu bara jika memang bersungguh-sungguh ingin membangun daerah mampu menyisihkan 30 persen hasilnya untuk menunjang kebutuhan lokal.

sumber : http://hendrichrist83.blogspot.com/2010/08/moratorium-pertambangan-batu-bara-dan.html

Minggu, 30 Desember 2012

DAMPAK NEGATIF PERTAMBANGAN



Kegiatan penambangan apabila dilakukan di kawasan hutan dapat merusak ekosistem hutan. Apabila tidak dikelola dengan baik, penambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan secara keseluruhan dalam bentuk pencemaran air, tanah dan udara. 


Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan kondisi tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam berbahaya, dsb.) sebagai akibat perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti semula (Susilo, 2003).


Kasus Teluk Buyat (Sulawesi Utara) dan Minamata (Jepang) adalah contoh kasus keracunan logam berat. Logam berat yang berasal dari limbah tailing perusahaan tambang serta limbah penambang tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang mencemari lingkungan.


Sebagai contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih dilakukan dengan proses amalgamasi di mana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk mengikat emas. Mengingat sifat merkuri yang berbahaya, maka penyebaran logam ini perlu diawasi agar penanggulangannya dapat dilakukan sedini mungkin secara terarah. Selain itu, untuk menekan jumlah limbah merkuri, maka perlu dilakukan perbaikan sistem pengolahan yang dapat menekan jumlah limbah yang dihasilkan akibat pengolahan dan pemurnian emas.


Sedangkan pertambangan skala besar, tailing yang dihasilkan lebih banyak lagi. Pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah konsentrasi mineral di dalam tanah, perusahaan tambang melakukan penggalian dimulai dengan mengupas tanah bagian atas (top soil). Top Soil kemudian disimpan di suatu tempat agar bisa digunakan lagi untuk penghijauan setelah penambangan. Tahapan selanjutnya adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawa ke processing plant dan diolah. Pada saat pemrosesan inilah tailing dihasilkan. Sebagai limbah sisa batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang.


Limbah tailing merupakan produk samping, reagen sisa, serta hasil pengolahan pertambangan yang tidak diperlukan. Tailing hasil penambangan emas biasanya mengandung mineral inert (tidak aktif). Mineral tersebut antara lain: kwarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat. Tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan lainnya. Sebagian logam-logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). 


Misalnya, Merkuri adalah unsur kimia sangat beracun (toxic). Unsur ini bila bercampur dengan enzime di dalam tubuh manusia menyebabkan hilangnya kemampuan enzime untuk bertindak sebagai katalisator untuk fungsi tubuh yang penting. Logam Hg ini dapat terserap ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan kulit. Karena sifatnya beracun dan cukup volatil, maka uap merkuri sangat berbahaya jika terhisap oleh manusia, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Merkuri bersifat racun yang kumulatif, dalam arti sejumlah kecil merkuri yang terserap dalam tubuh dalam jangka waktu lama akan menimbulkan bahaya. Bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh senyawa merkuri di antaranya kerusakan rambut dan gigi, hilang daya ingat dan terganggunya sistem syaraf.


Untuk mencapai hal tersebut di atas, maka diperlukan upaya pendekatan melalui penanganan tailing atau limbah B3 yang berwawasan lingkungan dan sekaligus peningkatan efisiensi penggunaan merkuri untuk meningkatkan perolehan (recovery) logam emas.


Alternatif Solusi


Pencegahan pencemaran adalah tindakan mencegah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia agar kualitasnya tidak turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Dalam bentuk,pertama, remediasi, yaitu kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri atas pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya, tanah tersebut disimpan di bak/tangki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya, zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.


Kedua, bioremediasi, yaitu proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). Ketiga, penggunaan alat (retort-amalgam) dalam pemijaran emas perlu dilakukan agar dapat mengurangi pencemaran Hg.


Keempat, perlu adanya kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan atau kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan. Sebelum dilaksanakannya, kegiatan penambangan sudah dapat diperkirakan dahulu dampaknya terhadap lingkungan. Kajian ini harus dilaksanakan, diawasi dan dipantau dengan baik dan terus-menerus implementasinya, bukan sekedar formalitas kebutuhan administrasi.


Kelima, penyuluhan kepada masyarakat tentang bahayanya Hg dan B3 lainnya perlu dilakukan. Bagi tenaga kesehatan perlu ada pelatihan surveilans risiko kesehatan masyarakat akibat pencemaran B3 di wilayah penambangan.


Surjono Hadi Sutjahjo, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB

PERTAMBANGAN EMAS

Emas sekarang sedang jadi tren. Entah itu untuk investasi atau untuk perhiasan. Atau kedua-duanya. Sebetulnya ini bukan cerita baru. Namun semenjak dunia sekarang akrab dengan krisis ekonomi dan inflasi, orang mulai menengok emas sebagai media investasi yang (katanya) harganya stabil dan selalu naik.

Emas adalah unsur logam yang bersifat lembek, mengkilap, kuning, berat, mudah dibentuk, dan ulet. Dan terpenting adalah sifat emas yang tidak mudah beraksi dengan bahan kimia lainnya yang menjadikannya bahan mulia, memiliki simbol kimia Au (dari bahasa latin Aurum), mempunyai nomor atom 79 dan berat atom 196,97. Kode ISO-nya adalah XAU. Satuan berat emas dinyatakan dalam beberapa unit, diantaranya adalah grain, oz, dan gram.


Karat adalah tetapan yang biasa digunakan untuk menyebutkan kadar kandungan emas. Untuk mengenal emas, kita terlebih dahulu mengenal istilah "kadar" dalam emas. Kadar merupakan tingkat keaslian emas, atau jumlah kandungan kemurnian emas. Kadar 24 karat dinyatakan sebagai emas murni. Jadi emas kadar 23 karat berarti tingkat kemurniannya adalah 23/24 X 100% atau sekitar 95,8%.

Jadi bila emas kadar 22 karat dengan berat 15 gram maka kandungan emas murninya = 22/24 x 15 = 13.75 Gram.
Untuk mempermudah, sudah tersedia tetapan untuk menentukan karat berdasar kadarnya. Menurut SNI (Standart Nasional Indonesia) - No : SNI 13-3487-2005 standard karat sbb:


KARAT KADAR EMAS

24 K = 99,00 - 99,99%
23 K = 94,80 - 98,89%
22 K = 90,60 - 94,79%
21 K = 86,50 - 90,59%
20 K = 82,30 - 86,49%
19 K = 78,20 - 82,29%
18 K = 75,40 - 78,19%




oke setelah anda sekalian terpesona dengan keindahan emas, sekarang mari kita lihat perkembangan emas di negeri kita ini, indonesia.

Petaling Jaya - Tambang emas di belahan dunia memang menjadi incaran perusahaan-perusahaan raksasa. Tak ayal, di Indonesia sendiri perusahaan-perusahaan asing memegang peranan penting di beberapa tambang emas dalam negeri.

Sebut saja PT Freeport Indonesia dan beberapa perusahaan asing lain yang 'menguasai' emas Indonesia. Tapi tahukah anda perusahaan asal Indonesia juga 'menjajah' tambang emas negara tetangga seperti Malaysia.

Dalam laporan The Star, seperti dilansir Senin (5/11/2012), para penambang emas di Negeri Jiran tersebut ternyata juga didominasi asing.

Perusahaan penambang emas di Malaysia antara lain, Peninsula Gold Ltd yang merupakan perusahaan yang telah listing di London kemudian ada CNMC Goldmine Golding dan dua perusahaan asal Kanada yakni Monument Mining Ltd dan Olympus Pacific Minerals Inc juga 'menjajah' emas Malaysia.

Salah satu perusahaan lain yang berekspansi di Malaysia yakni PT Bukit Makmur Mandiri Utama.

Bukit Makmur Mandiri Utama 'menguasai' tambang yang terletak di Penjom, Malaysia. Awalnya, tambang di Penjom ini dikuasai oleh Norwegian Avocet Mining Plc sebelum diambil alih oleh Bukit Makmur Mandiri Utama.

The Star menyebutkan, Bukit Makmur Mandiri Utama merupakan kontraktor tambang terbesar kedua di Indonesia. Tambang di Penjom memproduksi 39,150 ounce emas dalam 9 bulan terakhir di 2010 lalu.

Dalam pemberitaan The Star, ternyata memang tak hanya di Indonesia saja yang dikuasai jajahan asing di sektor pertambangan namun Malaysia sendiri dikuasai 5 penambang 'asing' di negaranya.

Menelusuri Indonesia, kompleks tambang emas Grasberg milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Papua masih jadi yang terbesar di dunia sampai saat ini. Selain emas, tambang tersebut juga penghasil tembaga dan perak.

Tahun lalu tambang tersebut memproduksi 1,44 juta ounces emas atau mencapai sekitar 40,8 ton (1 ounce = 28,35 gram). Jika harga emas saat ini katakanlah Rp 500 ribu, maka dari emas saja bisa menghasilkan sekitar Rp 20 triliun.

Teknik Elektro

Teknik Elektro